Powered By Blogger

Rabu, 14 April 2010

Kisah Tiga Srikandi di Belantara Borneo

Beginilah pemandangan di halaman depan kediaman Ir Agustina Listiawati, MP, di salah satu sudut kota Pontianak, Kalimantan Barat. Pot-pot berwarna jingga, hijau, dan hitam, berderet rapi di atas rak-rak kayu dan besi. Shading net hitam membentang sepanjang atap greenhouse sederhana seluas 120 m2 dan 200 m2. Puluhan tempurung kelapa menempel di beberapa dinding greenhouse yang terbuat dari kawat. Potongan-potongan pakis menggantung rapi di sana-sini, berselingan dengan pot-pot plastik.

Di sanalah, Lies -sapaan akrab Agustina Listiawati -merawat ratusan 300 anggrek spesies asli Kalimantan Barat yang terkenal eksotis. Sebut saja misalnya Phalaenopsis bellina berdaun lebar dengan bunga mungil berwarna putih kehijauan bersaput merah keunguan. Atau Arachis breviscava yang berbunga kuning dengan totol-totol cokelat tua. Ada juga Paraphalaenopsis serpentilingua berbunga putih berlidah kuning yang tumbuh bergerombol. Saat anggrek-anggrek spesies itu berkembang, berbunga-bunga pulalah hati Lies.

Anggrek borneo
Pemandangan hampir serupa terlihat di kediaman Ir Chairani Siregar, MSc dan Ir Purwanti, MSi -juga di Pontianak. Di nurseri A &Z Orchids milik Chairani, terlihat Dyakia hendersoniana . Anggrek berbunga mungil berwarna merah cerah itu endemik Kalimantan. Di alam bebas, tanaman epifi t itu kini sangat jarang dijumpai. Koleksi lain, Macodes petola. Anggota famili Orchidaceae itu salah satu koleksi istimewa perempuan kelahiran Tapanuli, 8 Februari 1949 itu. Maklum jewel orchids -begitu sebutannya -salah satu anggrek yang berdaun paling indah.

Lain lagi koleksi Purwaningsih. Master dari Institut Pertanian Bogor itu, mengoleksi Tainia pausipolia -anggrek tanah berbunga merah tua seperti manggis yang tahan lama. Di habitatnya di tepian sungai di hutan-hutan dataran tinggi Sanggau, Sintang, dan Landak keindahannya bisa dinikmati sepanjang tahun. Jenis lain, Phalaenopsis cornucervi . Kerabat vanili asal Sambas, Singkawang, Bengkayang, Sanggau, dan Sekadau itu sering disebut anggrek ekor buaya atau anggrek bulan loreng karena motif bunga yang loreng-loreng.

Bukan hal aneh bila halaman rumah Lies, Chairani, dan Purwaningsih melulu berisi anggrek-anggrek spesies asal Kalimantan. Ketiga perempuan yang sama-sama berprofesi sebagai pengajar di Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura itu dikenal sebagai 3 serangkai pencinta anggrek borneo. Boleh dibilang merekalah kolektor anggrek spesies borneo -terutama dari Kalimantan Barat -terlengkap.

Keluar-masuk hutan untuk mendapatkan koleksi baru sudah jadi santapan rutin. Mulai dari hutan-hutan di Sambas, Singkawang, Landak, Sanggau -semua di Kalimantan Barat -sampai Serikin dan Biawak -wilayah Malaysia Timur yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Bengkayang Sambas, serta Kuching, ibukota Serawak. Maklum sekitar 80%anggrek koleksi mereka memang hasil berburu langsung ke hutan-hutan. ?Hampir semua hutan di seluruh Kalimantan Barat sudah kami jelajahi, kecuali yang berada di Kabupaen Ketapang dan Kapuashulu,? kenang Lies.

Terendam air
Kegiatan memburu anggrek di perbatasan Sambas dan Serawak menjadi pengalaman paling berkesan. Perjalanan itu dimulai dari Pontianak menuju Sambas - ibukota Kabupaten Sambas yang ditempuh dengan waktu 5 jam berkendaraan roda empat. Dari Sambas, rombongan bergerak ke arah Kecamatan Galing selama 3 jam bermobil. Sampai di sana, mereka mesti berganti kendaraan dengan ojek karena jalan yang ditempuh hanya bisa dilalui kendaraan roda dua. Selama 2 jam, perempuan-perempuan tangguh itu dibuat pontang-panting di jalan berbukit-bukit yang berpasir dan berdebu.

Namun, mereka pantang menyerah demi mendapatkan Paphiopedilum sandrianum -anggrek yang konon hanya ada di Sajingabesar di Gunung Kaliau. Sayang, begitu tiba di lokasi, sang buruan tak kunjung ditemukan. ?Kami malah menemukan Arachis breviscava yang sedang berbunga. Itu pun cuma ada 2 tanaman setinggi 3 m, ? kata Lies.

Pengalaman tak kalah mendebarkan waktu memburu Paraphalaenopsis serpentilingua di Kabupaten Sekadau. Perjalanan mencari anggrek berjuluk lau tikus (ekor tikus, red) itu tak semudah yang dibayangkan. Dipandu warga setempat, mereka bermotor air menempuh perjalanan selama 2 jam menyusuri sungai. Itu dilanjutkan dengan berjalan kaki selama 2 jam di tanah banjir setinggi pinggang. Apadaya, setelah berjuang selama 4 jam, yang didapat hanya 2 tanaman setinggi 30 cm. Toh, medan berat selama perburuan tak menyurutkan langkah para srikandi itu mencari anggrek-anggrek spesies baru. ?Habis jalan ke hutan menyenangkan. Semua beban pikiran sepertinya lepas, ? kata Lies. Pantas tiga serangkai itu tidak pernah kapok keluar-masuk hutan.

Dari pameran
Kebersamaan mereka sebetulnya tanpa sengaja. Mula-mula Lies, Chairani, dan Purwaningsih berjalan sendiri-sendiri mengoleksi tanaman epifi t itu. Sejak semasa kuliah Lies sudah gemar mengoleksi anggrek. Namun, waktu itu jenis-jenis hibrida yang banyak dimiliki. Chairani yang mengambil master di University of Kentucky, Lexington, Amerika Serikat, suka anggrek gara-gara terpikat pesona anggrek merpati Dendrobium crumenatum yang harum.

Belakangan setelah sama-sama aktif di PAI, mereka melirik anggrek spesies. ?Keragamannya luar biasa. Mulai dari yang berukuran bunga kecil sampai besar. Bunganya ada yang tahan setengah hari sampai yang berbulan-bulan. Ada yang beraroma harum seperti Coelogyne asperata dan Phalaenopsis belina sampai yang berbau busuk seperti Bulbophyllum beccari, ? kata Lies, Chairani, dan Purwaningsih sepakat. Anggrek spesies yang pertama dimiliki Lies ialah anggrek tebu Grammatophyllum speciosum , anggrek pandan Cymbidium finlaysonianum , dan Dorrotis pulcherrima . Chairani punya Plocoglotis lowii . Sementara koleksi pertama Purwaningsih adalah Phalaenopsis bellina dan Tainia pauspolia.

Sebuah pameran di Museum Negeri Kalimantan Barat pada 2002 akhirnya mempertemukan mereka. Waktu itu, masing-masing diminta mengisi stan Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura yang masih kosong. Kebetulan Lies, Chairani, dan Purwaningsih dikenal oleh teman-teman sebagai pencinta tanaman. Jadilah mereka bertiga mengisi stan itu.

?Dari situ kami jadi sering ngobrol-ngobrol , ? kata Lies yang kini memiliki Khuby Orchids. Usut punya usut, ternyata ketiga aktivis organisasi Perhimpunan Anggrek Indonesia Provinsi Kalimantan Barat dan Kota Pontianak itu sama-sama gemar berburu anggrek spesies ke hutan. Daripada berburu sendiri-sendiri, akhirnya mereka pun sepakat bergabung. Eksplorasi bersama pertama ialah ke hutan-hutan di Kabupaten Sambas sepanjang 2003 -2004 yang dibiayai oleh pemda setempat. Dari perburuan perdana itu, lalu penjelajahan berlanjut ke hutan-hutan di 7 kabupaten lain.

Anggrek borneo lestari
Kini, kerja keras 3 srikandi itu terpampang jelas di nurseri masing-masing. Chairani mengoleksi sekitar 300 spesies. Macodes petola dan Arachis breviscava yang langka jadi koleksi kebanggaan. Sejumlah sama juga dikoleksi Lies. Ketua Litbang dan Konservasi PAI Kota Pontianak itu paling suka dengan Nevervilia discolor. Sementara dari 100 koleksi Purwaningsih, Tainia pausipolia dan Porpiroglottis maxwelie jadi kesayangan. T. pausipolia milik perempuan kelahiran Pontianak, 16 September 1958 itu menjadi juara umum dalam Borneo Orchids Show pada 2003.

Dari belantara borneo, anggrek-anggrek itu ditangkarkan. Hasil keluar-masuk hutan mereka dokumentasikan dalam sebuah terbitan tentang anggrek spesies Kalimantan Barat. Kepedulian untuk melestarikan anggrek-anggrek spesies borneo agar tak punah jadi perekat erat hubungan mereka

Selamatkan Anggrek Spesies

Ada 5000 jenis anggrek di alam, dan 29 jenis anggrek spesies Indonesia (termasuk anggrek hitam) telah dilindungi oleh pemerintah. Usaha budidaya anggrek tidak kalah pentingnya dengan terjadinya longsor, banjir, kelaparan dan lain-lain.

Indonesia termasuk 10 negara Megadiversity, dengan memiliki 90 tipe ekosistem yaitu ekosistem perairan laut dalam, terumbu karang, padang lamun, mangrove, pesisir pantai dan muara, lahan basah (sungai, rawa, danau, gambut), hutan pantai, padang rumput, savana, pertanian, hutan hujan daratan rendah, pegunungan, sampai ke ekosistem alpin di Puncak Jayawijaya, menurut Anida Haryatmo dari Yayasan Kehati dalam acara Diskusi Panel �Selamatkan Anggrek Spesies Indonesia.�

Masalah Anggrek di Indonesia :

- Hilangnya anggrek alam (anggrek spesies) karena rusaknya ekosistem (konversi alam, penebangan hutan, kebakaran hutan) dan pengambilan tanpa batas dari alam (tingginya minat terhadap anggrek asli).
- Ekspor anggrek alam secara illegal.
- Perlu perbaikan dalam praktek Implementasi CITES (untuk jenis anggrek yang termasuk dalam appendix II CITES, tapi otoritas melarang seluruh ekspor anggrek non hibrida).
- Walau memiliki plasma nutfah anggrek yang besar, namun penelitian dan pengembangan belum mencukupi mendukung tersedianya bibit baru dan budidaya yang bisa berkompetisi.
-. Budidaya anggrek asli Indonesia oleh negeri luar. Benefit sharing bagi masyarakat tidak ada.
-. Tingginya anggrek hibrida (silangan) dari luar negeri yang masuk.
Negara kurang waspada dengan apa yang kita miliki, maka kurang menyelamatkan apa yang seharusnya menjadi devisa di negara ini, kata Rahmat Witoelar, Menteri Lingkungan Hidup, sebagai Keytone Speaker Diskusi Panel "Selamatkan Anggrek Spesies Indonesia" tanggal 14 Pebruari 2006 di Taman Anggrek Indonesia Permai, TMII.

Kerusakan habitat dan pemanfaatan (termasuk perdagangan) yang tidak terkendali, penyebab utama bahaya kepunahan spesies. Kerusakan habitat disebabkan oleh pembukaan hutan untuk kepentingan konversi bagi pemanfaatan lahan, dengan tidak memperhitungkan Keanekaragaman Hayati.
Kondisi kerusakan habitat diperparah dengan maraknya illegal logging yang telah merambah ke dalam kawasan-kawasan konservasi, dan kejadian kebakaran hutan yang berlangsung setiap tahun dengan luasan yang sangat besar, mengancam keanekaragaman hayati Indonesia sangat terancam.
Illegal logging dapat menyangkut harkat hidup orang banyak, termasuk dalam kaidah/hukum Pembangunan Berkelanjutan. Ada tiga pilar Pembangunan Berkelanjutan yang saling berkaitan yaitu Environmental Sustainability, Economic Sustainability dan Social Sustainability. Lingkungan sebagai dasar titik tolak dan merupakan pondasi dari semua pembangunan lain.
 
Menurut Rahmat Witoelar, dalam menyelamatkan spesies ini perlu dilibatkan Menteri Pariwisata dan Menteri Kehutanan. Menteri Lingkungan hidup sebagai vokal point, yaitu sebagai jembatan karena secara optimal menteri-menteri tersebut yang dapat melakukan kegiatan ini.

Departemen Kehutanan telah melakukan konservasi pada Insitu (termasuk Taman Nasional, Suaka Alam, Taman Wisata Alam) dan Eksitu (termasuk penangkaran dan perbanyakan), menurut Kris Heriyanto, dari Konservasi Keanekaragaman Hayati, Ditjen PHKA, Departemen Kehutanan.

Menteri Lingkungan Hidup dan Menteri Kehutanan beserta aparat terkait harus memperhatikan habitat anggrek, supaya anggrek bisa lestari. Himbauan untuk menteri Kehutanan, kata Rahmat Witoelar, tolong dijaga anggrek ini demi biodiversity bukan demi illegal loggingnya karena Indonesia sebagai Champion of Biodiversity.

Kantor Menteri lingkungan Hidup akan membantu proses pendaftaran spesies khusus Indonesia ke Kekayaan Intelektual. Untuk informasi lebih lanjut bisa menghubungi Amanda Katili, tegas Rahmat pada akhir sambutan.

29 Jenis Anggrek Spesies Dilindungi UU

Di Indonesia, 29 jenis anggrek spesies telah dilindungi Undang-undang sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa (3 jenis masuk dalam Appendix I dan 26 jenis masuk dalam Appendix II).

Menurut Kris Heriyanto, jenis anggrek yang tidak dilindungi tapi masuk dalam Appendix CITES, seperti : Dendrobium lowii masuk appendix I, Phalaenopsis amabilis masuk Appendix II dan Bulbophyllum lobbii masuk dalam Appendix II.

Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) adalah Konvensi Perdagangan Internasional Fauna dan Flora Liar Langka (kesepakatan berbagai negara). Tujuan CITES untuk memastikan bahwa fauna dan flora liar yang diperdagangkan secara Internasional tidak dieksploitasi secara berlebihan/tidak berkelanjutan.

Indonesia meratifikasi CITES berdasarkan keputusan Prsiden No. 43 Tahun 1978 dengan management Authority ; Ditjen Dep. Kehutanan dan Scientific Authority ; LIPI.

Ada lima hal pokok yang menjadi dasar dibentuknya konvensi, adalah :

1. Perlunya perlindungan jangka panjang terhadap tumbuhan dan satwa liar.

2. Meningkatnya nilai sumber tumbuhan dan satwa liar bagi manusia

3. Adanya peran dari masyarakat dan negara dalam usaha perlindungan tumbuhan dan satwa liar.

4. Makin mendesaknya kebutuhan suatu kerja sama internasional untuk melindungi jenis-jenis tersebut dari eksploitasi lebih (over exploitation) melalui kontrol perdagangan internasional.

5. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka jenis-jenis atas dasar kelangkaannya yang ditentukan oleh konferensi Para Pihak CITES digolongkon dalam 3 kelompok atau Appendix, yaitu Appendix I, II dan III.

Appendix I adalah perdagangan Internasional (yang bersifat komersil) seluruhnya dilarang kecuali dari hasil penangkaran.

Appendix II adalah perdagangan internasional diperbolehkan tetapi dikontrol melalui kuota.

Appendix III perdagangan internasional diperbolehkan tapi dikontrol dengan pengawasan oleh negara lain (secara umum pembatsan perdagangannya lebih ringan dibandingkan dengan appendix II).

Pandangan terhadap masalah anggrek :

a. Untuk melindungi anggrek alam (spesies), masyarakat, pemerintah lokal dan daerah terkait dimana anggrek tersebut tumbuh perlu mendapat informasi, penguatan kapasitas dan adanya dukungan kebijakan sehingga dapat menjaga agar tidak terjadi pengambilan anggrek berlebihan.

b. Perlu dibangun mekanisme benefit sharing bagi masyarakat, sebagai insentif dalam menjaga ekosistem dimana anggrek tersebut tumbuh.

c. Explorasi terhadap pengenalan jenis anggrek alam (spesies) masih sangat dibutuhkan.

d. Pentingnya penelitian dan pengembangan anggrek untuk menunjang budidaya dan penyediaan bibit.

e. Kebijakan dan penegakan hukum menyangkut perdagangan anggrek perlu dibereskan, sehingga upaya perdagangan tetap menjaga pelestarian dan pemanfaatan lestari anggrek.

Pemanfaatan Anggrek

Semua anggrek hasil perbanyakan spesies dan hasil persilangan dapat dimanfaatkan (khusus Appendix I CITES harus terdaftar di skretariat CITES). Hasil perbanyakan spesies jenis-jenis yang dilindungi dan atau Appendix I CITES, TIDAK DIBENARKAN untuk diekspor.

Para pecinta anggrek tidak hanya menikmati keindahan dan kecantikan anggrek, tapi mereka juga melakukan penyilangan. Penyilangan dilakukan berdasarkan indahnya, dan karakteristik yang mungkin bermanfaat dihilangkan, tegas Sjahrizal Siregar, pencinta anggrek dari Bandung.

Menurut Sjahrizal perbanyakan/penyilangan anggrek spesies diambil dari hutan, dan ini tidak melalui ijin dari aparat setempat. Maka bila kita mengikuti peraturan, para pencinta anggrek seharusnya sudah dikenakan sanksi, karena telah melanggar peraturan, lanjut Sjahrizal. Hasil penyilangan yang indah untuk dijadikan perdagangan internasional.

Janganlah jual anggrek yang langka ke luar, lantas beri dari yang baru. Tolong perlakuan secara eksitu diakreditasi, dan apa syarat-syarat hutan yang dilindungi untuk anggrek, pesan Sjahrizal di akhir acara.